Selasa, 19 April 2022

Bagaimana Hukum Penukaran Uang Receh ?


Orang indonesia itu suka salah kaprah dalam menyebut istilah mu'amalah.

✅ Akad bai' (jual beli) disebut dengan kata "minta", misalnya: "Bu, saya minta nasi pecelnya seporsi sama kerupuknya". Kadang disebut mengambil, misalnya:  "Saya kemarin ambil mobil di showroom".

✅ Akad wakalah (pemberian kuasa traksaksi) disebut dengan titip, misalnya: "Ini saya titip belikan buku ya".

✅ Akad ijarah (sewa jasa) disebut sebagai jual beli atau penukaran. Misalnya di kasus penukaran uang receh di mana seseorang yang membutuhkan uang receh memakai jasa orang lain agar memberikan uang recehan dengan kesepakatan imbalan jasa.

✴️ Akan menjadi runyam ceritanya apabila istilah salah kaprah ala orang indonesia itu dipahami apa adanya sehingga "minta" dianggap gratisan, "ambil" dianggap pencurian, "nitip" dianggap wadi'ah, atau nukar uang recehan dianggap bai' sehingga riba.

Dalam mu'amalah, kaidahnya adalah:

العبرة بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني

"Yang diperhitungkan secara hukum adalah maksud dan makna kontekstualnya, bukan redaksi atau pun diksinya"

Sumber fb (KH.Abdul Wahab)

Rabu, 13 April 2022

Bagaimana Membaca AlQuran Di Jalan ?


Adab Membaca Al Qur'an 

Oleh : Dafid Fuadi 

Tidak diragukan lagi bagi setiap muslim bahwa  membaca Al Qur'an mempunyai keutamaan dan pahala yang agung. Nilai pahala membaca Al Quran dihitung berdasarkan huruf yang ia baca. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ ».

“ Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. At -Tirmidzi)

Tentunya dalam membaca Al Qur'an harus memperhatikan adab-adabnya, di antaranya adalah sebagai berikut :

Al Imam Al Bahuti menjelaskan :

(( لا يجوز رفع الصوت بالقرآن في الأسواق مع اشتغال أهلها بتجارتهم وعدم استماعهم له، لما فيه من الامتهان. ))  (  شرح منتهى الإرادات المسمى دقائق أولي النهى لشرح المنتهى:   1 /242)

"Tidak boleh membaca Al Qur'an mengeraskan suara membaca Al Qur'an di tempat2 perbelanjaan dalam kondisi orang2nya sibuk dengan perdagangannya, dan tidak bisa mendengarkan bacaan Al Qur'an tersebut, karena hal tersebut justru bisa menghinakan Al Qur'an". (Syarah Muntahal Iradat yg dinamai Daqaidu Ulin Nuha Lisyarhil Muntaha, juz 1, hal. 242)

قال الشيخ نووي البنتني: من تعظيم القران واحترامه ان لا يقرأ في الأسواق ومواطن اللغط واللغو ومجمع السفهاء (كتاب قامع الطغيان ص : ٨)

Syaikh Nawawi Banten berkata: Sebagian dari mengagungkan dan menghormati Al-Qur'an itu adalah tidak membaca Qur'an di tempat tempat perbelanjaan, di tempat bersenda gurau, di tempat nongkrong.(Kitab Qomi'ut Thughyan hal : 8)

Syaikh Ibrahim bin Muhammad al Halabi (w. 956 H) menjelaskan :

(( يجب على القارئ احترامه بأن لا يقرأه في الأسواق ومواضع الاشتغال ، فإذا قرأه فيها كان هو المضيع لحرمته ، فيكون الإثم عليه دون أهل الاشتغال دفعا للحرج )) .(شرح المنية)

"Wajib bagi pembaca Al Quran untuk menghormati Al Quran yaitu dengan tidak membacanya di tempat2 perbelanjaan dan tempat2 kesibukan manusia. Jika dia membaca al Quran di tempat2 tersebut berarti dia telah menyia2kan kehormatan Al Quran dan dialah yang  berdosa bukan orang2 yang sedang sibuk itu, karena dalam rangka menolak kesulitan bagi mereka." (Syarhul Munyah)

 Al Imam Ath Thahawi menjelaskan :

 وقالوا: الواجب على القارىء إحترام القرآن بأن لا يقرأ في الأسواق ومواضع الإشتغال فإذا قرأ فيها كان هو المضيع لحرمته فيكون الإثم عليه دون أهل الإشتغال.
(حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح شرح نور الإيضاح (ص: 228))

"Para Ulama berkata : "Wajib bagi pembaca Al Quran untuk menghormati Al Quran yaitu dengan tidak membacanya di tempat2 perbelanjaan dan tempat2 kesibukan manusia. Jika dia membaca al Quran di tempat2 tersebut berarti dia telah menyia2kan kehormatan Al Quran itu. Dialah yang  berdosa bukan orang2 yang sedang sibuk."(Hasyiyah ath Thahawi 'Ala Maraqil Al Falah Syarh Nuril Idhah, hal. 228)

نسأل الله سبحانه وتعالى بأسمائه الحسنى وصفاته العلى وبانبيائه ورسله واوليائه أن يلهمنا رشدنا، وأن يعيذنا من شرور أنفسنا، وأن يجنبنا غوايات الشيطان، وأن يجعلنا في قرة عين نبينا سيدنا محمد صلى الله عليه وال وسلم. آمين.

Sabtu, 09 April 2022

Suntik Vaksin Saat Berpuasa Batal ?

 Bagaimana hukum suntik Vaksin dan suntik vitamin atau suplemen yang dapat menambah stamina tubuh saat puasa.

Kalau suntik dilakukan di malam hari tidak masalah. Bahkan sahur itu tujuannya adalah untuk menambah stamina tubuh saat puasa, sebagaimana sabda Nabi:

(اﻟﺴﺤﻮﺭ ﻛﻠﻪ ﺑﺮﻛﺔ) ﺃﻱ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﻓﻲ اﻟﻘﺪﺭﺓ ﻋﻠﻰ اﻟﺼﻮﻡ

Hadis: "Sahur seluruhnya adalah berkah", yakni menambah kekuatan dalam puasa (HR Ahmad, Syarah Hadis Faidl Al-Qadir 4/137)

Tetapi jika suntik vitamin ini dilakukan di siang hari maka kita bahas dulu perincian hukumnya menurut ulama kita:

1. Puasanya batal karena ada benda yang dimasukkan ke dalam bagian tubuh (jauf, menurut pendapat ini tidak sebatas perut dan pencernaan).

2. Tidak batal secara mutlak, sebab masuknya tidak melalui tenggorokan yang berlanjut ke pencernaan.

3. Ini pendapat yang lebih kuat. Diperinci; jika berupa suplemen atau vitamin maka puasanya batal.

Jika bukan Suplemen/ Vitamin misalnya seperti Suntik Vaksin dan yang sejenis obat-obatan lainnya maka diperinci:

- Jika yang disuntikkan melalui saluran pembuluh darah maka batal. 
- Jika dimasukkan melalui otot (kulit, daging) yang tidak terhubung ke dalam perut maka tidak membatalkan 

(Kitab Taqrirat As-Sadidah)

Kamis, 07 April 2022

Mengapa Baca Salawat Di Sela-Sela Tarawih?


 Alasannya karena Rasulullah Saw tidak menganjurkan salat disambung dengan salat berikutnya, kecuali kalau orang tersebut memisah antara keduanya dengan pembicaraan maupun dzikir. Berikut adalah kutipan riwayatnya secara lengkap:

أَنَّ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ أَرْسَلَهُ إِلَى السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ ابْنِ أُخْتِ نَمِرٍ يَسْأَلُهُ عَنْ شَىْءٍ رَأَى مِنْهُ مُعَاوِيَةُ فِى الصَّلاَةِ فَقَالَ صَلَّيْتُ مَعَهُ الْجُمُعَةَ فِى الْمَقْصُورَةِ فَلَمَّا سَلَّمْتُ قُمْتُ فِى مَقَامِى فَصَلَّيْتُ فَلَمَّا دَخَلَ أَرْسَلَ إِلَىَّ فَقَالَ لاَ تَعُدْ لِمَا صَنَعْتَ إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلاَ تَصِلْهَا بِصَلاَةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِذَلِكَ أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ بِصَلاَةٍ حَتَّى يَتَكَلَّمَ أَوْ يَخْرُجَ. (رواه مسلم رقم  73 وأبو داود رقم  1131) 
“Nafi’ bin Jubair bertanya kepada Saib bin Yazid, putra saudara perempuan Namir, tentang salat yang ia lihat bersama Muawiyah. Saib berkata: Salat salat Jumat bersama Muawiyah di Maqshurah (sebuah batu yang dibangun oleh Muawiyah di dalam Masjid). Setelah saya salam, saya berdiri di tempat saya. Ketika Muawiyah masuk ia mengutus kepada saya dan berkata: “Jangan kembali ke tempat yang telah kamu kerjakan. Jika kamu salat Jumat maka jangan disambung dengan salat lainnya hingga kamu berbicara atau keluar. Karena Nabi Saw memerintahkan seperti itu; (yaitu) agar salat tidak disambung dengan salat lainnya hingga beliau berbicara atau keluar” (HR Muslim No 73, Abu Dawud No 1131, dan lainnya)

Apakah dzikir termasuk dalam kategori hadis diatas? Syaikh Ali Syibramalisi menjawabnya:

ثُمَّ رَأَيْتُ ع ش فِي بَابِ صَلاَةِ النَّفْلِ فِي مَبْحَثِ اْلاِضْطِجَاعِ، كَتَبَ عَلَى قَوْلِ النِّهَايَةِ: أَوْ فَصَلَ بِنَحْوِ كَلاَمٍ، مَا نَصُّهُ: وَلَوْ مِنَ الذِّكْرِ أَوِ اْلقُرْآنِ، لاَنَّ الْمَقْصُوْدَ مِنْهُ تَمْيِيْزُ الصَّلاَةِ الَّتِي فَرَغَ مِنْهَا مِنَ الصَّلاَةِ الَّتِي شَرَعَ فِيْهَا. اهـ (إعانة الطالبين – ج 1 / ص 219)
“Saya (pengarang kitab I’anah ath-Thalibin) melihat penjelasan Ali Syibramalisi menjelaskan perkataan pengarang kitab an-Nihayah (Imam Ramli) tentang ‘memisah satu salat dan salat lainnya dengan perkataan’, beliau berkata: “Meskipun dengan dzikir atau al-Quran. Sebab tujuannya adalah membedakan salat yang awal dengan salat berikutnya yang akan dikerjakan” (I’anah ath-Thalibin 1/188). 

Dan sudah jelas bahwa salawat adalah dzikir dan diperintahkan dalam al-Quran.

Doa Buka Puasa (Allahumma Laka Shumtu) Yang Dituduh Dlaif Dan Bidah


 Ngaji Bareng Daring (Dalam Jaringan/ online) semalam bersama PCI NU Jerman ada pertanyaan yang mengulang terus tiap tahun dari sebuah broadcast yang lagi-lagi menyalahkan doa berbuka puasa "Allahumma Laka Shumtu" yang sudah populer di kalangan Nahdliyyin. Mereka menawarkan doa lain yang sahih, menurut mereka.

Puasa itu waktu yang tepat untuk banyak-banyak ibadah, bukan menghujat atau menyalahkan. Apalagi saat-saat berbuka puasa adalah momentum tepat untuk berdoa kepada Allah. Bahkan orang yang berbuka puasa ini diberi kemakbulan doa sebagaimana dalam hadits:

«ﺇِﻥَّ ﻟِﻠﺼَّﺎﺋِﻢِ ﻋِﻨْﺪَ ﻓﻄﺮﻩ ﻟَﺪَﻋْﻮَﺓً ﻣَﺎ ﺗُﺮَﺩُّ»

"Sungguh bagi orang yang berpuasa -saat berbuka- memiliki doa yang tidak akan tertolak" (HR Ibnu Majah. Bagi yang hendak menilai dhaif karena ikut syekh Albani silahkan cek di kolom komentar bahwa hadis ini memiliki 3 jalur yang menguatkan antara satu dengan lainnya yang saya kutip dari sesama kelompok mereka, Syekh Syuaib Al Arnauth)

Karena saat berbuka adalah waktu istijabah dalam berdoa maka boleh pakai doa apa saja. Mau doa dari Nabi, doa sendiri atau apapun. Sebab doa tidak ada syarat harus sahih atau dhaif.

Terkait tuduhan dhaif dari pengikut syekh Albani maka saya sertakan penilaian sebaliknya dari sesama mereka. Simak saja penjelasan berikut:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ». (رواه أبو داود)

Telah sampai kepada Muadz bin Zuhrah bahwa jika Nabi shalallahu alaihi wasallam berbuka maka berdoa: “Ya Allah, hanya untuk Mu aku berpuasa, atas rezeki Mu aku berbuka” (HR Abu Dawud)

Doa ini dituduh bidah oleh sebagian kalangan lantaran statusnya adalah dhaif. Benarkah? Tidak benar, sebab hadis ini memiliki banyak jalur. Misalnya (1) dalam riwayat Thabrani di kitab Mu’jam Ausath, di dalamnya ada perawi Dawud bin Zabarqan, ia dlaif (2) riwayat Thabrani dalam Mu’jam Kabir, di dalamnya ada perawi Abdul Malik bin Harun, ia dlaif (Majma’ Az-Zawaid 3/204). Kendatipun dlaif, ulama Salafi lainnya berkata dan menegaskan hadis ini memiliki banyak Syawahid:

تعقيب : قال عبد القادر الأرناؤوط 1 / 162 : و لكن له شواهد يقوى بها (روضة المحدثين - ج 10 / ص 304)

Catatan: Abdul Qadir Al-Arnauth berkata: “Namun hadis ini memiliki banyak riwayat eksternal yang menguatkannya” (Hamisy Raudlah Al-Muhadditsin, 10/304)

(Sumber fb KH Ma'ruf Khozin)

Rabu, 06 April 2022

Bolehkah Shalat Malam setelah Shalat Tarawih Dan Witir ?


 Shalat witir hukumnya sunnah. Dinamai witir karena bilangannya ganjil, yaitu satu, tiga, lima, tujuh, Sembilan, atau sebelas raka’at. Rasulullah saw. biasa shalat witir sebelas raka’at yang biasanya ditutup dengan salam setiap dua rakaat, kemudian diakhiri dengan shalat satu raka’at sebagai shalat ganjil. Semestisnya shalat witir itu penutup dari shalat malam. Allah saw. itu satu yang ganjil maka Allah swt. senang yang ganjil.

Namun di bulan Ramadhan kebiasaan di beberapa masjid seringkali menutup shalat tarawih dengan shalat witir, apakah boleh saat di akhir malam shalat tahajjud, shalat hajat dan shalat malam lainnya? Tentu boleh saja seusai tarawih dan witir pada malam hari jelang subuh menambahkan dengan shalat tahajjut dan shalat mala lainnya. 

Rasulullah saw. bersabda: 

عن جابر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من خاف أن لا يقوم من أخر الليل فليوتر أوله ومن طمع أن يقوم أخره فليوتر أخر الليل فإن صلاة أخر الليل مشهودة وذلك أفضل.
Dari Jabir ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sesiapa yang khawatir tidak bisa melaksanakan qiyamullail di akhir malam, maka shalat witirlah di awal, dan sesiapa yang berharap bisa qiyamullail di akhir malam maka shalat witirlah di akhir malam. Shalat di akhir malam itu di persaksikan (oleh/kepada malaikat) dan yang demikian itu lebih utama”.
عن أبى سلمة قال: سألت عائشة عن صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت كان يصلي ثلاث عشرة ركعة يصلي ثمان ركعات ثم يوتر ثم يصلي ركعتين وهو جالس فإذا أراد أن يركع قام فركع ثم يصلي ركعتين بين النداء الإقامة من صلاة الصبح (رواه مسلم(
 “diriwayatkan dari Abu Salamah, ia berkata: saya bertanya kepada ‘Aisyah ra. tentang salat (malam) Rasulullah saw., kemudian ‘Aisyah berkata: beliau saw. melakukan salat 13 rakaat. Beliau salat 8 rakaat, kemudian witir. Lalu beliau salat (lagi) dua rakaat dilakukan dengan duduk. Jika beliau akan ruku’, beliau berdiri kemudian ruku’ dan salat dua rakaat antara adzan dan iqamah di waktu salat subuh” (HR. Muslim).
Dalam kitab Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab jilid 3 dijelaskan sebagai berikut. 
إذا أوتر قبل أن ينام ثم قام وتهجد لم ينقض الوتر علي الصحيح المشهور وبه قطع الجمهور بل يتهجد بما تيسر له شفعا
Ketika (seseorang) sebelum tidur  sudah shalat witir, lalu (di tengah/akhir malam) bangun dan shalat tahajud, maka hal itu tidak merusak/membatalkan shalat witir yang sudah dilakukan. Ini menurut pendapat yang shahih dan masyhur. Dan itu pendapat mayoritas (jumhur) ulama.  Namun sebaiknya shalat tahajud yang ringan (tidak yang panjang-panjang) dengan rakaat genap.

(Sumber fb KH M. Cholil N)

Selasa, 05 April 2022

Download Foto Habib Luthfi PNG

Download Foto Habib Luthfi 1

Download Foto Habib Luthfi 2

Download Foto Habib Luthfi 3

Download Foto Habib Luthfi 4

Download Foto Habib Luthfi 5



 

Download Foto Habib Luthfi 5

Download Foto Gus Baha PNG

Download gambar Gus Baha 1

Download gambar Gus Baha 2

Download gambar Gus Baha 3

Download gambar Gus Baha 4

Download gambar Gus Baha 5


 

Download gambar Gus Baha 6

Senin, 04 April 2022

Doa Agar Rumah Tangga Bahagia


 Dalam sebuah riwayat ada satu doa yang diajarkan kepada kita untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia penuh dengan keberkahan. Doa tersebut sebagai berikut:

اَللّٰهُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْ أَهْلِيْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ وَارْزُقْنِيْ مِنْهُمْ وَارْزُقْهُمْ مِنِّي. اَللّٰهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ إِلَى خَيْرٍ وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ

Allâhumma bârik lî fî ahlî wa bârik lahum fiyya warzuqnî minhum warzuqhum minnî. Allâhummajma’ bainanâ mâ jama’ta ilâ khairin wa farriq bainanâ idzâ farraqta ilâ khairin Artinya:

“Ya Allah, berkahilah aku di dalam keluargaku dan berkahilah mereka di dalam diriku. Berilah aku rezeki dari mereka dan berilah mereka rezeki dariku. Ya Allah, kumpulkan kami menuju kebaikan dan pisahkan kami bila Engkau pisahkan menuju kebaikan.”

Dalam satu riwayat dituturkan bahwa doa tersebut disampaikan oleh sahabat Abadullah bin Mas’ud kepada seorang laki-laki yang datang kepada beliau. Laki-laki itu menceritakan kalau dirinya baru saja menikah dengan seorang gadis, namun ia sangat khawatir kalau-kalau terjadi kebencian di antara keduanya hingga terjadi perpecahan.

Mendengar cerita itu Abdullah bin Mas’ud lalu menyarankannya agar ketika ia mendatangi istrinya maka lakukanlah shalat dua rakaat lalu membaca doa tersebut. Dengan sering memanjatkan doa tersebut maka diharapkan pasangan suami istri akan saling rukun, saling mengisi dan menyempurnakan kekurangan dan saling membahagiakan satu sama lain. Dengan begitu maka in syaa allah akan tercipta keluarga bahagia yang penuh dengan keberkahan. Wallâhu a’lam.

(Kitab Fii Nidzhomil Usrah)

Uang Hasil Dari Terapi Bekam (Hijamah) Haram ?


 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ

“Hasil (upah) tukang bekam adalah khabits” (HR. Muslim, Tirmidzi dll). Shahih.

Makna “khabits” dalam hadits ini, menurut mayoritas ulama (pendapat shohih) adalah rendah atau makruh dan bukan khabits dalam arti haram. Bahkan, menurut Imam Ibn Abdil Barr dalam at-Tamhid, hadits di atas di naskh keharamannya karena telah terjadi ijma’ kehalalan (upah) bekam, atau maknanya adalah makruh tanzih. 

Tentang kehalalan upah dari bekam adalah didasarkan pada hadits:

احْتَجَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم، وَأَعْطَى الْحَجَّامَ أَجْرَهُ

“Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan bekam dan memberikan tukang bekamnya upah” (HR. Bukhari)

Al-Mawardi dalam kitabnya, al-Hawi meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib:

أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - احْتَجَمَ وَأَمَرَنِي أَنْ أُعْطِيَ الْحَجَّامَ أُجْرَةً  

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan bekam dan memerintahkan aku supaya aku memberi upah kepada tukang bekam”. 

Hadits di atas juga merupakan bantahan kepada sebagian ahli hadits yang mengaramkan hasil bekam kerana hanya melihat zhahir haditsnya saja. Bahkan, al-Mawardi juga menyebut pendapat tersebut rusak karena bertentangan dengan banyak hadits yang menjelaskan halalnya upah hasil bekam.

Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibn Abbas:

عن ابن عباس ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حجمه عبد لبني بياضة ، فأعطاه أجره ، ولو كان حراما لم يعطه

“Dari Ibn Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibekam oleh seorang hamba sahaya milik Bani Bayadhah, kemudian beliau memberikan upah. Andai upah tersebut haram, tentu beliau tidak akan memberinya” (Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar, XV/262)

Dalam madzhab Syafi’i sendiri, upah hasil bekam adalah makruh karena ia hasil dari pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan najis (darah), seperti membersihkan kotoran hewan dan lain-lain. Adapun hukum bekamnya adalah fardhu kifayah. (Lihat Hasyiyah asy-Syarqawi, II/457).

Tips bekam bagi yang mau bekam sunnah: 
Hijamah alar-riiq (bekam dalam keadaan belum makan dan minum) adalah keberkahan, menambah kecerdasan dan menguatkan hafalan. Yang bagus bekam di hari Ahad dan Senin, kurang baik bekam di hari Sabtu dan Rabu (makruh). Bagus lagi dilakukan setelah pertengahan bulan (hijriyyah) sebelum habis bulan. Jangan lupa sehari sebelum dan sesudah bekam jangan menjima’ istri. Dan setelah berbekam, usahakan jangan makan makanan yang asin-asin. 

(Bughyah al-Mustarsyidin).  

Wallahu A’lam.

Puasa Tapi Tidak Shalat Apakah Sah ?


 Dalam madzhab Syafi'i sendiri, seperti yang telah kita ketahui dari kitab-kitab Syafi'iyah seperti Fathul Qarib dan Fathul Mu'in, puasa dan shalat bukanlah ibadah yang saling berkaitan. Puasa tidak jadi syarat shalat dan juga sebaliknya, shalat tidak jadi syarat puasa.

Kemudian sekarang, hampir tiap ramadhan permasalahan hukum puasa orang yang tidak shalat ramai di perbincangkan. Di medsos banyak bertebaran gambar-gambar yang menyatakan puasa tidak sah jika tidak shalat. Sehingga kita terutama kaum santri banyak yang bertanya-tanya: kok bisa?

o0o

Ramainya pembahasan tersebut saat ini digawangi oleh ulama' wahabi, Ibnu Utsaimin dalam Fatwanya mengatakan:

تارك الصلاة صومه ليس بصحيح ولا مقبول منه؛ لأن تارك الصلاة كافر مرتد.

"Status puasa orang yang meninggalkan shalat adalah tidak sah dan tidak diterima, karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir-murtad." Majmu' Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin 19/87-88. 

Titik poin Ibnu Utsaimin menelurkan hukum tersebut karena dalam pandangannya orang yang meninggalkan shalat di hukumi kafir-murtad, dan orang kafir-murtad tidak diterima amalnya, termasuk juga puasa. 

Maka sekarang yang jadi kunci pembahasan, apakah benar orang yang tidak shalat di hukumi kafir-murtad?

o0o

Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim memberi pentafsilan:

-Jika orang meninggalkan shalat mengingkari bahwa hal itu wajib, maka dia kafir secara kesepakatan Muslimin.

- Jika meninggalkannya karena malas disertai keyakinannya bahwa shalat adalah wajib, maka ada perbedaan ulama:

Pendapat pertama: hal itu tidak membuat seseorang menjadi kafir. Ini merupakan pendapat Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, golongan ulama' Kufah, Imam Muzani, salah satu dari dua pendapat Imam Hambali dan Mayoritas generasi salaf (sahabat, tabi'in dan tabi'ut-tabi'in) maupun kholaf (generasi setelah itu).

Pendapat kedua : hal itu menyebabkan kafir. Ini merupakan pendapat sekelompok generasi salaf, pendapat ini di riwayatkan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib krw. Pendapat ini juga salah satu dari dua riwayat yang di nisbatkan kepada Imam Hambali. Ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, dan sebagian ashabus-Syafi'i juga mengikuti pendapat ini. 

Penjelasan Imam Nawawi tersebut senada dengan penjelasan kitab Mawsu'ah Fiqhiyyah. Di sana dikatakan bahwa pendapat kafir-murtad oleh madzhab Hambali adalah Qiil (pendapat lemah). 

Jadi. 

Kalau mengikuti pendapat pertama maka status puasanya orang yang meninggalkan shalat adalah tetep sah. Untuk status dia meninggalkan shalat, itu tidak berhubungan dengan puasa.

Kalau mengikuti pendapat kedua, maka puasanya tidak sah, karena dia tidak berstatus Islam lagi, dia sudah murtad dengan meninggalkan shalat.

Dalil.

Semua pendapat ini punya dalil. Dalil kelompok kedua di pahami kelompok pertama dengan pendekatan berbeda. Dan dalil pendapat pertama dipahami kelompok pendapat kedua juga dengan pendekatan berbeda. Jadi jangan terlalu di permasalahkan.

Silahkan ikuti pendapat yang diyakini benar tanpa maksain ke yang lain. Dalam fikih yang kita perlukan adalah kejujuran terhadap diri sendiri, lebih condong kemana, silahkan ikuti.

Sengaja kami tidak tampilkan perdebatan ulama' berkenaan dengan dalil ini, khawatir kepanjangan. Kalau ada yang pengen, bisa komen.
 
Untuk status pahala puasanya jika mengikuti pendapat pertama? 

Dalam masalah ini, paling pas menurut kami adalah seperti yang diutarakan Darul Ifta' Mesir, "Permasalahan pahala sepenuhnya diserahkan kepada Allah, akan tetapi orang puasa yang melakukan shalat lebih bisa di harapkan pahala dan diterimanya ibadah puasa daripada yang tidak melakukan shalat." 

Untuk masalah takhwif, menakut-nakuti biar tidak meninggalkan shalat, bisa dengan katakan "meninggalkan shalat hukumnya dosa besar, ketika di lakukan saat puasa malah bisa berlipat-lipat dosa besarnya, karena selain pahala yang di lipat gandakan, dosa juga dilipatgandakan. Hal itu juga bisa mendekatkan diri ke neraka. Ada juga ulama' yang menyatakan hal itu bisa menyebabkan murtad, maka hati-hatilah, sangat bisa jadi itu hukum yang benar dalam penilaian Allah SWT. Dan yang pasti, apabila merasa biasa saja meninggalkan shalat, maka ity tanda belum sempurna dan belum bisa merasakan manisnya iman."

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ 

Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, maka ia akan meraih manisnya iman: 
(1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya.
(2) ia mencintai seseorang tidak lain tidak bukan semata hanya karena Allah.
(3) ia membenci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci bila dilempar ke dalam api.

Hadits Sahih riwayat Imam Bukhari Muslim.

Wallahu ta'ala a'lam, semoga bermanfaat

Jaga hati dari perusak puasa

(Sumber fb Gus Zimam Hanif)

KDRT Karena Boleh Dalam Islam ?

Foto hanya ilustrasi

 KDRT Karena Boleh Dalam Islam?


(Dharaba) Memang memiliki banyak makna sesuai kalimat transitifnya. Jika 'mutaaddi' dengan lafal tertentu akan berbeda maknanya. Dalam QS An-Nisa' 34 memang bermakna memukul seperti yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir.


Tapi jangan langsung memvonis pukulan seperti menempeleng, mendamprat dan kekerasan lainnya. Perlu memperhatikan hadis-hadis Nabi shalallahu alaihi wa sallam sebelum memberi kesimpulan.


1. Dalam hadis ada penjelasan "Tidak menyakiti".


ﻋﻦ ﻋﻄﺎء ﻗﺎﻝ: ﻗﻠﺖ ﻻﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ: ﻣﺎ اﻟﻀﺮﺏ ﻏﻴﺮ اﻟﻤﺒﺮﺡ؟ ﻗﺎﻝ: اﻟﺴﻮاﻙ ﻭﺷﺒﻬﻪ، ﻳﻀﺮﺑﻬﺎ ﺑﻪ.


Atha' bertanya kepada Ibnu Abbas: "Apa yang dimaksud memukul yang tidak melukai?" Ibnu Abbas menjawab: "Siwak dan seukurannya, yang dipukulkan" (Tafsir Qurthubi)


Kita tahu sendiri kayu siwak hanya seukuran jari telunjuk.


2. Nabi Tidak pernah memukul istri


ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ، ﻗﺎﻟﺖ: «ﻣﺎ ﺿﺮﺏ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻴﺌﺎ ﻗﻂ ﺑﻴﺪﻩ، ﻭﻻ اﻣﺮﺃﺓ، ﻭﻻ ﺧﺎﺩﻣﺎ»


Aisyah berkata bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah memukul apapun dengan tangannya, tidak memukul wanita dan pembantu (HR Muslim)


Penjelasan dalam kitab Al-Majmu' setelah menampilkan beberapa hadis kemudian disimpulkan:


ﻓﻲ ﻫﺬا ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ اﻻﻭﻟﻰ ﺗﺮﻙ اﻟﻀﺮﺏ ﻟﻠﻨﺴﺎء


Hadis ini adalah dalil bahwa lebih utama tidak memukul istri (Al-Majmu', 16/450)


Syekh Al-Bahuti dari Mazhab Hambali lebih rasional dalam memberi ulasan:


ﻭاﻷﻭﻟﻰ ﺗﺮﻙ ﺿﺮﺑﻬﺎ ﺇﺑﻘﺎء ﻟﻠﻤﻮﺩﺓ 


Lebih baik tinggalkan memukul istri agar cinta tetap ada (Kasyaf Al-Qina', 5/210).


Saya setuju dengan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kalau ada seorang suami melakukan kekerasan pada istrinya kemudian mendapat pendampingan dari Komnas Perempuan hingga mendapat haknya juga saya setuju. Sebab para suami sudah terlampau jauh hingga memukul istrinya sampai babak-belur.


Di samping itu, pukulan suami kepada istri bukan karena kesalehan suami, banyak suami yang belum memenuhi kewajiban memberi nafkah dan membimbing istri malah sudah mukul duluan. Bahkan terkadang menjadi legitimasi kesalahan suami, padahal istrinya siang malam bekerja, mengasuh anak, menyelesaikan pekerjaan di rumah dan tugas lain yang tidak bisa dilakukan suami.


Sumber fb KH. Ma'ruf Khozin

Gaya Canda Rasulullah

GAYA CANDA NABI SAW PADA WANITA

Suatu hari seorang wanita datang ke majelis Rasulullah sholallahu alaihi wa salam dan mengintai-intai seperti mencari seseorang. Rasulullah pun bertanya, “Siapa yang engkau cari?”

“Suamiku, wahai Rasulullah.”

“Siapa nama suamimu?” tanya Rasulullah.

“Fulan bin Fulan,” jawab wanita itu.

“Oh, orang yang di matanya terdapat putih-putih itu?” tanya Rasulullah.

“Tidak,” kata wanita itu.

“Betul,” jawab Rasulullah.

Wanita itu pun terdiam seketika lalu kembali mencari-cari suaminya. Pikirannya terus memikirkan kata-kata Rasulullah. 

Begitu bertemu suaminya, dia pun terus mengintai-intai ke mata sang suami. Sebentar-sebentar melirik ke kanan dan ke kiri. Melihat keadaan itu, sang suami pun bertanya, “Ada apa engkau mengintai-intai ke mataku ini?”

“Aku sedang memeriksa matamu,” jawab sang isteri.

“Untuk apa?” tanya suaminya.

“Rasulullah memberitahuku di matamu terdapat putih-putih.”

“Kamu ini bagaimana sih!” sahut si suami.

“Memangnya kenapa?”

“Bukankah setiap biji mata itu ada putih-putihnya. Engkau pun dapat lihat sendiri yang putih-putih itu lebih banyak daripada yang hitam-hitam,” jawab suami.

Mendengar jawaban itu sang isteri jadi tersenyum sendiri dan menyadari Rasulullah berkata benar dengan gaya guyonannya. 

(HR. Ibnu Abiddunya dari Abdullah bin Sahm al-Fihri, dalam kitab al-Fakahah wa al-Mizah karya az-Zubair bin Bakar).

Zaid bin Aslam juga menceritakan, pernah Ummu Aiman al-Habasyiyah datang kepada Rasulullah sholallahu alaihi wa salam seraya berkata, “Sesungguhnya suamiku mengundangmu.”

Nabi menjawab, “Siapa suamimu, apakah dia orang yang matanya ada putih-putihnya?” 

 “Demi Allah, tidak ada putih-putih di matanya!” jawab Ummu Aiman.

Maka Nabi berkata. “Ya, di matanya ada putih-putihnya.”

 “Tidak, demi Allah!” jawab kekeh Ummu Aiman.

 “Tidak ada seorang pun kecuali di matanya ada putih-putihnya,” pungkas Rasulullah disambut senyum tawa Ummu Aiman. 

(HR. Ibnu Abiddunya, dalam kitab al-Fakahah wa al-Mizah karya az-Zubair bin Bakar).

( Syaroni As-Samfuriy )

Gus Baha Ditegur Sahabat Ibnu Mas'ud

Gus Baha' Ditegur Abdullah bin Mas'ud

Suatu ketika saat penyusunan Mushaf Universitas Islam Indonesia, saat itu KH. Ahmad Baha'uddin Nur Salim atau yang masyhur dikenal sebagai Gus Baha' ini masuk dalam tim penyusun sebagai Anggota Tim Lajnah Mushaf UII. Tim tersebut terdiri dari pakar tafsir dari Profesor, Doktor, dan ahli-ahli Al-Qur'an dari penjuru tanah air seperti Prof. Quraish Shihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof Shohib, dan lain-lain. 

Mungkin hanya Gus Baha' lah pakar tafsir yang tak menyandang titel akademik karena beliau tercatat hanya menyantri di Pesantren Al-Anwar, Karangmangu, Sarang, Rembang asuhan KH. Maimun Zubair, selain kepada mengaji kepada ayahandanya KH. Nur Salim al-Hafidz, murid KH. Arwani Amin Kudus dan KH. Abdullah Salam, Kajen, Pati.

Namun entah mengapa saat penyusunan Mushaf tersebut Gus Baha' lupa mencantumkan nama sahabat Abdullah bin Mas'ud dalam daftar nama sahabat yang meriwayatkan qiro'at. Dalam mushaf tersebut memang dijelaskan secara ringkas tentang sejarah penurunan, periwayatan, pembukuan dan Ulumul Qur'an lainnya.

Dalam Buku Guru Orang-Orang Pesantren Terbitan Pondok Pesantren Sidogiri disebutkan, bahwa Sahabat Ibnu Mas'ud ini tergolong salah satu sahabat yang pertama kali masuk islam (as-Sabiqunal Awwalun) bersama Abu Bakar bin Abi Quhafah, Khodijah binti Khuwailid, Ali bin Abi Thalib dan lain-lain. Beliau dikenal dengan julukan Sahibu Sawadi Rasulillah (yang mengetahui rahasia Rasulullah) karena kedekatannya dengan Rasulullah SAW.

Rasululah SAW sendiri juga pernah bersabda tentang sahabat yang berpostur tubuhnya pendek dan kurus dengan warna kulit sawo matang ini "Barangsiapa ingin membaca Al-Qur'an seperti ketika diturunkan, maka bacalah.sebagaimana bacaan Ibnu Ummi 'Abd (Ibnu Mas'ud). Rasulullah SAW kembali bersabda"Belajarlah baca Al-Qur'an dari empat orang: Ibnu Mas'ud, Muaz bin Jabal, Ubay bin Ka'ab dan Salim Maula Abi Huzaifah".

Sampai pada malam harinya, Gus Baha' pun bermimpi bertemu dengan Abdullah bin Mas'ud. Dalam mimpi tersebut Ibnu Mas'ud menegur Gus Baha' yang tak menuliskan namanya dalam daftar sahabat yang meriwayatkan Al-Qur'an. 

Maka saat bangun, Gus Baha' pun segera menuliskan sahabat yang masyhur sebagai ahli qur'an ini dalam Mushaf kampus islam legendaris yang pertama diterbitkan pada tahun 1997 ini.

Begitulah sosok Gus Baha', pria kelahiran Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah yang selalu berpenampilan sederhana, namun memiliki keilmuan yang amat mendalam. Ulama yang nasabnya bersambung sampai Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu yang dimakamkan di area Masjid Lasem, Rembang ini juga telah mengkhatamkan hafalan Shohih Muslim lengkap dengan matan, rawi, dan sanadnya saat masih menyantri di Sarang. 

Kitab Fikih seperti Fathul Mu'in, Nahwu seperti Imrithi, Alfiyah bin Malik pun juga telah dihafal luar kepala. Sampai-sampai Mbah Moen pun berkata "Santri tenan iku yo koyo baha' iku" (Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha').

Pengakuan kealimannya dalam bidang tafsir dan fiqh pun juga keluar dari pakar tafsir ternama penulis Tafsir Al-Misbah. Prof. Dr. Habib Quraish Shihab. Dimana pendiri Pusat Studi Al-Qur'an dan Mantan Menteri Agama ini mengatakan demikan "Sulit ditemukan orang yang sangat memahami dan hafal detail-detail Al-Qur'an hinga detail-detail fiqh yang tersirat dalam ayat-ayat Al-Qur'an seperti Pak Baha'"

Sungguh betapa luas samudera keilmuan ulama' nusantara. Meskipun banyak diantara mereka yang tak sempat mengeyam pendidikan di Arab  seperti KH. Ihsan Jampes (Penulis Sirojut Tholib syarh Minhajul Abidin karya Imam Ghozali), KH. Arwani Amin (Penulis Faidhul Barakat fi Qira'at Sab'ah) atau Gus Baha' di era milenial ini, namun keilmuannya diakui oleh dunia. Semoga kedepan akan muncul generasi ulama-ulama berkaliber Internasional yang lahir dari bumi Nusantara.

Sleman, 10 Juli 2019

Copas fb kang
Muhammad Abid Muaffan 
Santri Backpacker Nusantara

Disarikan dari Gus Qowim, Dosen Institut Ilmu Al-Qur'an An-Nur, Jogjakarta saat silaturrahmi ke kediaman Gus Baha'.

Bagaimana Hukum Penukaran Uang Receh ?

Orang indonesia itu suka salah kaprah dalam menyebut istilah mu'amalah. ✅ Akad bai' (jual beli) disebut dengan kata &quo...