Dalam madzhab Syafi'i sendiri, seperti yang telah kita ketahui dari kitab-kitab Syafi'iyah seperti Fathul Qarib dan Fathul Mu'in, puasa dan shalat bukanlah ibadah yang saling berkaitan. Puasa tidak jadi syarat shalat dan juga sebaliknya, shalat tidak jadi syarat puasa.
Kemudian sekarang, hampir tiap ramadhan permasalahan hukum puasa orang yang tidak shalat ramai di perbincangkan. Di medsos banyak bertebaran gambar-gambar yang menyatakan puasa tidak sah jika tidak shalat. Sehingga kita terutama kaum santri banyak yang bertanya-tanya: kok bisa?
o0o
Ramainya pembahasan tersebut saat ini digawangi oleh ulama' wahabi, Ibnu Utsaimin dalam Fatwanya mengatakan:
تارك الصلاة صومه ليس بصحيح ولا مقبول منه؛ لأن تارك الصلاة كافر مرتد.
"Status puasa orang yang meninggalkan shalat adalah tidak sah dan tidak diterima, karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir-murtad." Majmu' Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin 19/87-88.
Titik poin Ibnu Utsaimin menelurkan hukum tersebut karena dalam pandangannya orang yang meninggalkan shalat di hukumi kafir-murtad, dan orang kafir-murtad tidak diterima amalnya, termasuk juga puasa.
Maka sekarang yang jadi kunci pembahasan, apakah benar orang yang tidak shalat di hukumi kafir-murtad?
o0o
Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim memberi pentafsilan:
-Jika orang meninggalkan shalat mengingkari bahwa hal itu wajib, maka dia kafir secara kesepakatan Muslimin.
- Jika meninggalkannya karena malas disertai keyakinannya bahwa shalat adalah wajib, maka ada perbedaan ulama:
Pendapat pertama: hal itu tidak membuat seseorang menjadi kafir. Ini merupakan pendapat Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, golongan ulama' Kufah, Imam Muzani, salah satu dari dua pendapat Imam Hambali dan Mayoritas generasi salaf (sahabat, tabi'in dan tabi'ut-tabi'in) maupun kholaf (generasi setelah itu).
Pendapat kedua : hal itu menyebabkan kafir. Ini merupakan pendapat sekelompok generasi salaf, pendapat ini di riwayatkan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib krw. Pendapat ini juga salah satu dari dua riwayat yang di nisbatkan kepada Imam Hambali. Ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, dan sebagian ashabus-Syafi'i juga mengikuti pendapat ini.
Penjelasan Imam Nawawi tersebut senada dengan penjelasan kitab Mawsu'ah Fiqhiyyah. Di sana dikatakan bahwa pendapat kafir-murtad oleh madzhab Hambali adalah Qiil (pendapat lemah).
Jadi.
Kalau mengikuti pendapat pertama maka status puasanya orang yang meninggalkan shalat adalah tetep sah. Untuk status dia meninggalkan shalat, itu tidak berhubungan dengan puasa.
Kalau mengikuti pendapat kedua, maka puasanya tidak sah, karena dia tidak berstatus Islam lagi, dia sudah murtad dengan meninggalkan shalat.
Dalil.
Semua pendapat ini punya dalil. Dalil kelompok kedua di pahami kelompok pertama dengan pendekatan berbeda. Dan dalil pendapat pertama dipahami kelompok pendapat kedua juga dengan pendekatan berbeda. Jadi jangan terlalu di permasalahkan.
Silahkan ikuti pendapat yang diyakini benar tanpa maksain ke yang lain. Dalam fikih yang kita perlukan adalah kejujuran terhadap diri sendiri, lebih condong kemana, silahkan ikuti.
Sengaja kami tidak tampilkan perdebatan ulama' berkenaan dengan dalil ini, khawatir kepanjangan. Kalau ada yang pengen, bisa komen.
Untuk status pahala puasanya jika mengikuti pendapat pertama?
Dalam masalah ini, paling pas menurut kami adalah seperti yang diutarakan Darul Ifta' Mesir, "Permasalahan pahala sepenuhnya diserahkan kepada Allah, akan tetapi orang puasa yang melakukan shalat lebih bisa di harapkan pahala dan diterimanya ibadah puasa daripada yang tidak melakukan shalat."
Untuk masalah takhwif, menakut-nakuti biar tidak meninggalkan shalat, bisa dengan katakan "meninggalkan shalat hukumnya dosa besar, ketika di lakukan saat puasa malah bisa berlipat-lipat dosa besarnya, karena selain pahala yang di lipat gandakan, dosa juga dilipatgandakan. Hal itu juga bisa mendekatkan diri ke neraka. Ada juga ulama' yang menyatakan hal itu bisa menyebabkan murtad, maka hati-hatilah, sangat bisa jadi itu hukum yang benar dalam penilaian Allah SWT. Dan yang pasti, apabila merasa biasa saja meninggalkan shalat, maka ity tanda belum sempurna dan belum bisa merasakan manisnya iman."
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, maka ia akan meraih manisnya iman:
(1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya.
(2) ia mencintai seseorang tidak lain tidak bukan semata hanya karena Allah.
(3) ia membenci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci bila dilempar ke dalam api.
Hadits Sahih riwayat Imam Bukhari Muslim.
Wallahu ta'ala a'lam, semoga bermanfaat
Jaga hati dari perusak puasa
(Sumber fb Gus Zimam Hanif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar